Taman Flora merupakan salah satu paru-paru Surabaya dengan luas 2,4 hektar di eks Kebun Bibit Baratang Surabaya. Taman ini memiliki ratusan jenis pohon dan tanaman, dilengkapi dengan sebuah kolam ikan, kandang burung dan rusa tutul. Selain itu, taman ini juga dijadikan sebagai Techno Park dengan hadirnya ruang sekitar 5x10 m2 sebagai ruang pembelajaran IT dengan 6 line jaringan komputer yang tersambung internet. Ruangan ini juga dilengkapi software berbagai games interaktif untuk sosialisasi tentang lingkungan dan masalah sampah. Seluruh kalangan masyarakat dapat menikmati seluruh fasilitas di taman ini secara gratis. Fasilitas yang lengkap dan gratis inilah yang menyebabkan antusiasme masyarakat khususnya masyarakat Surabaya sangat tinggi untuk mengunjungi taman ini.
Tetapi, dalam kenyataannya taman ini masih terganjal konflik sengketa ijin pemakaian tanah (IPT). Konflik IPT yang terjadi melibatkan pihak Pemkot Surabaya dengan PT SIP Muara Harianja. Konflik ini berawal pada tanggal 26 Maret 1996 ketika PT SIP Tbk mengajukan permohonan hak pengelolaan lahan kepada Wali Kota Surabaya yang saat itu dijabat Sunarto Sumoprawiro selama 20 tahun. Surat itu kemudian disetujui. Namun, belum sempat digarap, Sunarto membatalkan hak PT SIP Tbk pada 4 Oktober 2001. Namun, pada 9 September 2009, hak itu diberikan ke PT Flora Indah Sentosa. PT SIP pun merasa dirugikan dan pihaknya melakukan gugatan kepada Pemkot. PT SIP Tbk terus-menerus menang sejak dalam putusan PN pada 2003, Pengadilan Tinggi 2004, hingga dikuatkan putusan MA 2008. Pada tanggal 29 Juni 2010, pihak Pengadilan Negeri Surabaya telah membacakan surat eksekusi yang menyatakan bahwa hak pengelolaan Taman Flora diberikan kepada PT SIP.
Hak Angket telah dilakukan oleh DPRD Kota Surabaya. Dari sini ditemukan beberapa fakta yang sangat mencengangkan diantaranya adalah:
1. Pada 26 Maret 1997, PT Suryainti Permata (SIP) mengirim surat ke walikota dengan nomor 030.SIP/DIR/III/97. Surat berisi niat baik untuk mempercantik lokasi taman di sebelah RMI (Kebun Bibit).
2. Kemudian pada 17 Februari 1998, Pemkot membuat perjanjian dengan PT SIP dengan No. 593/19/40.01.04/98. Isi perjanjian berupa, Pemkot akan mengelola lahan seluas 45.000 m2 miliknya. Selanjutnya, PT SIP memberikan dana partisipasi sebesar Rp160 juta setiap tahun (kenyataannya PT.SIP hanya membayar pada tahun pertama saja, setelah itu pihaknya menunggak selama 3 tahun).
3. Kemudian, 19 Februari 1998, Pemkot membuat surat ke DPRD untuk meminta persetujuan pengelolaan. Tapi, dewan tidak memberikan karena lokasi dipergunakan untuk paru-paru kota.
4. Pada 2 April 2001, Pemkot dan PT SIP melakukan pembicaraan soal pembatalan perjanjian, tetapi tidak terjadi kesepakatan. Karena itu, Pemkot melakukan pembatalan sepihak.
5. Di sisi lain, Pemkot telah membuat perjanjian baru dan menyerahkan penggunaan tanah kepada PT Floraya Indah Sentosa (FIS) dengan nomor 593/2800.2/402.1.2/2001. Perjanjian ini berisi pengelolaan selama 20 tahun dengan nilai sewa Rp 1.450.000.000.
Dari fakta-fakta diatas terlihat jelas bahwa Pemkot tidak pernah memberikan izin pengelolaan lahan kepada PT. SIP. Perusahaan ini hanya memberikan dana partisipasi yang bukan berarti hak pengelolaannya jatuh kepada perusahaan ini. Pemkotpun juga tidak wajib mengembalikan dana tersebut. Tetapi, PT SIP tetap mengklaim bahwa dana tersebut merupakan uang sewa lahan kota ke Pemkot. Pansus hak angket pun juga mengindikasikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kota Surabaya. Seharusnya, pengeloalaan kawasan taman bibiit selain sebagai Ruang Terbuka Hijau sangat dilarang. Jadi, terdapat beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam Pemkot sendiri yang memang sengaja ingin melepaskan aset-aset kota.
Dari pemaparan diatas, berikut akan diberikan runtutan alternative yang mungkin dapat dijadikan sebagai langkah penyelesaian konflik sengketa hak pengelolaan taman flora:
1. Pansus harus segera menemukan siapa dalang dari sengketa hak pengelolaan taman flora yang berada dalam Pemkot Surabaya.
2. Setelah dalang dari kasus tersebut ditemukan, pihaknya akan memberikan sanksi yang setimpal atas aksinya melepaskan aset-aset kota baik pada PT.SIP maupun PT.Floraya Indah Sentosa.
3. Perbaikan manajemen internal kelembagaan dalam tubuh Pemkot Surabaya sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengehilangkan budaya pungli yang memang banyak terjadi dalam lembaga pemerintahan saat ini.
4. Jika pihak SIP masih tetap menggugat dana sebesar 160 juta yang telah masuk kas daerah, maka Pemkotpun dapat menggugatnya kedalam peradilan dengan menggunakan bukti-bukti nyata yang telah didapatkan oleh pansus serta mendatangkan dalang-dalang kasus ini untuk menjelaskan duduk permasalahannya.
5. Tetapi, jika memang peradilan tetap memenangkan PT SIP, maka mau tidak mau Pemkot Surabaya harus tetap memberikan hak pengelolaanya kepada PT SIP dengan syarat, pengelolaan didasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan. Peraturan yang dimaksud adalah peruntukan lahan yang dijadikan sebagai RTH tanpa ada bangunan yang natinya akan mengganggu keberadaan RTH tersebut. Jika terjadi konversi lahan selain RTH selama kurun waktu ijin pengelolaan belum habis, maka Pemkot berhak untuk mencabut izin pengelolaan lahan tersebut dari pihak PT SIP.
Dari runtutan penyelesaian diatas, diharapkan dapat memberikan penyelesaian dengan memandang kepentingan dari kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut juga dilakukan untuk tetap mempertahankan jumlah kawasan RTH yang ada di Surabaya agar tidak semakin berkurang. Dibutuhkan sikap transparansi dari pihak Pemerintah kota serta perbaikan kinerja kelembagaan untuk mencegah jatuhnya aset-aset Pemkot kepada pihak-pihak lain yang dianggap dapat mengancam keamanan serta kesejahteraan masyarakat yang ada di Kota Surabaya.