Penyelesaian Konflik Sengketa Hak Pengelolaan Taman Flora

Kamis, 13 Januari 2011

Taman Flora merupakan salah satu paru-paru Surabaya dengan luas 2,4 hektar di eks Kebun Bibit Baratang Surabaya. Taman ini memiliki ratusan jenis pohon dan tanaman,  dilengkapi dengan sebuah kolam ikan, kandang burung dan rusa tutul. Selain itu, taman ini juga dijadikan sebagai Techno Park dengan hadirnya ruang sekitar 5x10 m2 sebagai ruang pembelajaran IT dengan 6 line jaringan komputer yang tersambung internet. Ruangan ini juga dilengkapi software berbagai games interaktif untuk sosialisasi tentang lingkungan dan masalah sampah. Seluruh kalangan masyarakat dapat menikmati seluruh fasilitas di taman ini secara gratis. Fasilitas yang lengkap dan gratis inilah yang menyebabkan antusiasme masyarakat khususnya masyarakat Surabaya sangat tinggi untuk mengunjungi taman ini.
Tetapi, dalam kenyataannya taman ini masih terganjal konflik sengketa ijin pemakaian tanah (IPT). Konflik IPT yang terjadi melibatkan pihak Pemkot Surabaya dengan PT SIP Muara Harianja. Konflik ini berawal pada tanggal 26 Maret 1996 ketika PT SIP Tbk mengajukan permohonan hak pengelolaan lahan kepada Wali Kota Surabaya yang saat itu dijabat Sunarto Sumoprawiro selama 20 tahun. Surat itu kemudian disetujui. Namun, belum sempat digarap, Sunarto membatalkan hak PT SIP Tbk pada 4 Oktober 2001. Namun, pada 9 September 2009, hak itu diberikan ke PT Flora Indah Sentosa. PT SIP pun merasa dirugikan dan pihaknya melakukan gugatan kepada Pemkot. PT SIP Tbk terus-menerus menang sejak dalam putusan PN pada 2003, Pengadilan Tinggi 2004, hingga dikuatkan putusan MA 2008. Pada tanggal 29 Juni 2010, pihak Pengadilan Negeri Surabaya telah membacakan surat eksekusi yang menyatakan bahwa hak pengelolaan Taman Flora diberikan kepada PT SIP.
Hak Angket telah dilakukan oleh DPRD Kota Surabaya. Dari sini ditemukan beberapa fakta yang sangat mencengangkan diantaranya adalah:
1.       Pada 26 Maret 1997, PT Suryainti Permata (SIP) mengirim surat ke walikota dengan nomor 030.SIP/DIR/III/97. Surat berisi niat baik untuk mempercantik lokasi taman di sebelah RMI (Kebun Bibit).
2.       Kemudian pada 17 Februari 1998, Pemkot membuat perjanjian dengan PT SIP dengan No. 593/19/40.01.04/98. Isi perjanjian berupa, Pemkot akan mengelola lahan seluas 45.000 m2 miliknya. Selanjutnya, PT SIP memberikan dana partisipasi sebesar Rp160 juta setiap tahun (kenyataannya PT.SIP hanya membayar pada tahun pertama saja, setelah itu pihaknya menunggak selama 3 tahun).
3.       Kemudian, 19 Februari 1998, Pemkot membuat surat ke DPRD untuk meminta persetujuan pengelolaan. Tapi, dewan tidak memberikan karena lokasi dipergunakan untuk paru-paru kota.
4.       Pada 2 April 2001, Pemkot dan PT SIP melakukan pembicaraan soal pembatalan perjanjian, tetapi tidak terjadi kesepakatan. Karena itu, Pemkot melakukan pembatalan sepihak.
5.       Di sisi lain, Pemkot telah membuat perjanjian baru dan menyerahkan penggunaan tanah kepada PT Floraya Indah Sentosa (FIS) dengan nomor 593/2800.2/402.1.2/2001. Perjanjian ini berisi pengelolaan selama 20 tahun dengan nilai sewa Rp 1.450.000.000.
Dari fakta-fakta diatas terlihat jelas bahwa Pemkot tidak pernah memberikan izin pengelolaan lahan kepada PT. SIP. Perusahaan ini hanya memberikan dana partisipasi yang bukan berarti hak pengelolaannya jatuh kepada perusahaan ini. Pemkotpun juga tidak wajib mengembalikan dana tersebut. Tetapi, PT SIP tetap mengklaim bahwa dana tersebut merupakan uang sewa lahan kota ke Pemkot. Pansus hak angket pun juga mengindikasikan adanya penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat pemerintah kota Surabaya. Seharusnya, pengeloalaan kawasan taman bibiit selain sebagai Ruang Terbuka Hijau sangat dilarang. Jadi, terdapat beberapa penyelewengan yang dilakukan oleh beberapa pihak dalam Pemkot sendiri yang memang sengaja ingin melepaskan aset-aset kota.
Dari pemaparan diatas, berikut akan diberikan runtutan alternative yang mungkin dapat dijadikan sebagai langkah penyelesaian konflik sengketa hak pengelolaan taman flora:
1.       Pansus harus segera menemukan siapa dalang dari sengketa hak pengelolaan taman flora yang berada dalam Pemkot Surabaya.
2.       Setelah dalang dari kasus tersebut ditemukan, pihaknya akan memberikan sanksi yang setimpal atas aksinya melepaskan aset-aset kota baik pada PT.SIP maupun PT.Floraya Indah Sentosa.
3.       Perbaikan manajemen internal kelembagaan dalam tubuh Pemkot Surabaya sendiri. Hal ini dilakukan untuk mengehilangkan budaya pungli yang memang banyak terjadi dalam lembaga pemerintahan saat ini.
4.       Jika pihak SIP masih tetap menggugat dana sebesar 160 juta yang telah masuk kas daerah, maka Pemkotpun dapat menggugatnya kedalam peradilan dengan menggunakan bukti-bukti nyata yang telah didapatkan oleh pansus serta mendatangkan dalang-dalang kasus ini untuk menjelaskan duduk permasalahannya.
5.       Tetapi, jika memang peradilan tetap memenangkan PT SIP, maka mau tidak mau Pemkot Surabaya harus tetap memberikan hak pengelolaanya kepada PT SIP dengan syarat, pengelolaan didasarkan pada peraturan yang telah ditetapkan. Peraturan yang dimaksud adalah peruntukan lahan yang dijadikan sebagai RTH tanpa ada bangunan yang natinya akan mengganggu keberadaan RTH tersebut. Jika terjadi konversi lahan selain RTH selama kurun waktu ijin pengelolaan belum habis, maka Pemkot berhak untuk mencabut izin pengelolaan lahan tersebut dari pihak PT SIP.

Dari runtutan penyelesaian diatas, diharapkan dapat memberikan penyelesaian dengan memandang kepentingan dari kedua belah pihak. Penyelesaian tersebut juga dilakukan untuk tetap mempertahankan jumlah kawasan RTH yang ada di Surabaya agar tidak semakin berkurang. Dibutuhkan sikap transparansi dari pihak Pemerintah kota serta perbaikan kinerja kelembagaan untuk mencegah jatuhnya aset-aset Pemkot kepada pihak-pihak lain yang dianggap dapat mengancam keamanan serta kesejahteraan masyarakat yang ada di Kota Surabaya.


Penyelesaian Konflik Kenaikan Pajak Reklame di Surabaya

Minggu, 09 Januari 2011





Konflik yang akan dibahas adalah mengenai pro dan kontra kenaikan pajak reklame yang dilakukukan oleh pemerintah kota Surabaya. Kenaikan pajak reklame ini disosialisasikan pada bulan September 2010 dan kemudian mulai diterapkan sebulan setelh pensosialisasian tersebut, tepatnya pada bulan November 2010. Penerapan kebijakan ini tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada, karena Peraturan Walikota mengenai kenaikan pajak reklame lebih dahulu keluar dari pada Peraturan Daerah.
Penetapan kebjakan ini berawal dari banyaknya korban yang jatuh akibat robohnya reklame-reklame besar dipinggiran jalan akibat angin kencang saat musim penghujan. Pada akhir februari lalu, belasan reklame roboh dan sebagian menimpa rumah warga. Pada bulan November 2008 terdapat reklame roboh dijalan Kertajaya dan menimpa tiga mobil dan 27 sepeda motor dan pada bulan Desember 2008 robohnya reklame di jalan Embong Malang menelan korban jiwa.

Dalam konflik kali ini, stakeholder yang terlibat adalah dari Pemerintah Kota Surabaya selaku pihak yang mengeluarkan kebijakan kenaikan pajak reklame dengan DPRD Kota Surabaya beserta pihak pengusaha biro reklame yang menyatakan ketidak setujuannya atas penerapan kebijakan tersebut.
Pemerintah kota beranggapan bahwa kenaikan pajak reklame ini setidaknya akan dapat mengurangi dan mencegah timbulnya korban akibat robohnya reklame-reklame besar selama musim penghujan. Pemkot juga ingin menggenjot PAD Surabaya dari pajak reklame ini, pemilihan pajak reklame sendiri dikarenakan sejak delapan tahun terakhir pajak reklame ini tidak pernah mengalami kenaikan. Kenaikan pajak ini hanya dilakukan pada reklame-reklame yang berukuran besar saja, sedangkan reklame yang berukuran kecil akan diturunkan pajaknya. Kemudian, alasan terakhir penerapan kebijakan ini adalah untuk perbaikan estetika Kota Surabaya.

Sebaliknya, DPRD dan para pengusaha biro reklame menganggap kebijakan ini terlalu dini untuk dilakukan, hal ini dikarenakan sosialisasi yang dirasa sangat singkat, hanya dalam waktu satu bulan saja kebijakan langsung diterapkan. Kenaikan yang mencapai 200% pun dituding DPRD sebagai salah satu intervensi antara Pemerintah Kota dengan para investor-investor reklame besar untuk mematikan pasar reklame di Surabaya agar dapat dimonopoli dengan mudah. Selain itu, Peraturan Walikota yang tiba-tiba muncul sebelum disahkannya Peraturan Daerah kota Surabaya mengenai perpajakan dtuding DPRD sebagai suatu langkah untuk mengacaukan proses pembahasan rancangan peraturan daerah (RAPERDA) tentang pajak daerah.
Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2010 Perwali nomor 56 dan 57 direvisi menjadi Perwali nomor 70 dan 71. Menurut Kabid Pendapatan Pajak Dinas Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Pemkot Joestamadji yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa aturan yang berubah terkait dengan kenaikan pajak reklame, diantaranya adalah pengklasifikasian ukuran reklame yang semula hanya tujuh kini menjadi 12 jenis dan kenaikan pajak reklame rata-rata hanya sebesar 3%, dimana untuk reklame yang berukuran besar (± 50 m²) mengalami kenaikan pajak hingga mencapai 200% dan untuk reklame yang berukuran kecil, sedang, atau menengah mengalami penurunan pajak yang sama yaitu sebesar 30%. Nilai ini sangat merosot jauh apabila dibandingkan dengan perwali nomor 56 dan 57 yang kenaikan pajaknya rata-rata sebesar 38%. Perivisian Perwali ini dilakukan karena banyak pihak yang merasa tidak setuju dengan Perwali sebelumnya.pada tanggal 8 Desember 2010, DPRD Kota Surabaya melakukan hak interpelasi kepada Wali Kota Surabaya perihal kenaikan pajak reklame yang dapat menembus angka 400%. Konflik terus berlanjut dengan dilakukannnya hak angket oleh DPRD Kota Surabaya yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 2011 dengan mendatangkan tiga pejabat yang terkait dalam penyusunan Perwali 56 dan 57. Berikut ini akan disajikan peta konflik menganai kenaikan pajak reklame di Surabaya.




Penjelasan:
1. Hubungan antara pengusaha pengguna jasa yang menolak kebijakan kenaikan pajak dengan Biro Reklame. Hal ini dikarenakan pihak biro reklame merupakan perantara antara pengusaha pengguna dengan Pemkot Surabaya. Pengusaha yang akan mendirikan reklamenya akan meminta bantuan kepengurusannya kepada biro reklame.
2. Hubungan antara pengusaha pengguna jasa yang mendukung kebijakan kenaikan pajak dengan Biro Reklame. Hal ini dikarenakan pihak biro reklame merupakan perantara antara pengusaha dengan Pemkot Surabaya. Pengusaha yang akan mendirikan reklamenya akan meminta bantuan kepengurusannya kepada biro reklame.
3. Konflik kecil antara Biro reklame dengan Pemerintah Kota Surabaya. Pihak biro reklame akan merasa dirugikan akibat kenaikan pajak reklame yang diterapkan Pemerintah Kota Surabaya. Tetapi, biro reklame mau tidak mau harus mengikuti peraturan yang ada. Pihak ini tidak memiliki kekuatan hukum yang besar untuk mengubah aturan yang telah ditetapkan.
4. Aliansi yang kuat antara Biro Reklame dengan DPRD Kota Surabaya yang menolak kebijakan kenaikan pajak terjadi karena terdapat beberapa anggota DPRD yang notabennya memiliki suatu biro reklame (Edi budi prabowo, Anggota komisi D DPRD Surabaya). Sehingga, biro reklame mendukung tindakan DPRD yang notabennya juga sebagai pemilik biro reklame untuk menentang kebijakan kenaikan pajak.
5. Hubungan antara Pengusaha pengguna jasa yang mendukung kenaikan pajak dengan Pemerintah Kota Surabaya. Terdapat beberapa pengusaha yang setuju dengan kebijakan kenaikan pajak. Hal ini dikarenaka mereka cukup bertanggung jawab pada tingkat keselamatan yang dimiliki oleh setiap pengguna jalan. Selain itu, pengusaha juga tidak ingin mengambil resiko menanggung segala kerugian yang diakibatkan oleh robohnya reklame atas nama produknya.
6. Konflik utama antara DPRD Kota Surabaya yang menolak kenaikan pajak dengan Pemerintah Kota Surabaya. DPRD yang memiliki biro reklame akan membentuk suatu aliansi dalam kelompoknya untuk bersama-sama menentang pemkot memberlakukan kebijakannya tersebut. DPRD memiliki kekuasaan hukum yang lebih tinggi dari pada Pemerintah Kota. Oleh karena itu, terjadilah konflik yang besar antara kedua belah pihak. Satu pihak menentang kebijakan untuk mengusahakan keberlanjutan pasar reklame. Sedangkan pihak lain, mengutamakan keselamatan masyarakat.
7. Aliansi yang kuat antara DPRD Kota Surabaya yang menyetujui kenaikan pajak dengan Pemerintah Kota Surabaya. Terdapat beberapa anggota DPRD yang menyutujui kenaikan pajak rekalme berdasarkan segala argument yang telah dikeluarkan pemerintah kota. Oleh karena itu, pemkot Surabaya memberikan dukungan yang besar terhadap tindakan kenaikan pajak reklame.
8. Hubungan yang kuat antara UKM dengan Pemerintah Kota Surabaya. Pemerintah kota Surabaya memberikan keuntungan pada UKM dengan menurunkan pajak reklame yang berukuran kecil. Hal ini dilakukan untuk menggenjot produksi UKM dengan meningkatkan kualitas serta jumalh pemasaran produknya lewat rekalame.
9. Aliansi yang retak antara Masyarakat penerima dampak robohnya reklame dengan Pemerintah Kota Surabaya. Masyarakat mulai kehilang kepercayaan kepada pemerntah Kota Surabaya kinerja pengeloalaan internal reklame yang buruk dan menyebabkn robohnya reklame di jalan-jalan.
10. Konflik kecil antara pengusaha reklame yang kontra dengan pemkot Surabaya. Konflik ini terjadi Karena beberapa pengusaha pengguna jasa reklame menolak kebijakan kenaikan pajak. Kenaikan pajak nantinya akan dapat menambah pengeluaran yang harus disediakan pengusaha untuk mempromosikan produknya. Tetapi, dalam hal ini, pengusaha tidak memiliki kedudukanyang cukup tinggi dimata hokum untuk dapat menolak kebijakan tersebut.
Peta konflik ini digunakan untuk mengetahui pihak-pihak mana saja yang nantinya dapat didekati terlebih dahulu untuk menyelesaikan konflik yang ada. Berikut ini akan diberikan beberapa penyelesaian dengan pendekatan dari peta konflik yang ada sebelumnya.





Penjelasan:
Penyelesaian suatu konflik dengan menggunakan bantuan peta konflik dilakukan dengan cara mendekati pihak-pihak yang memiliki hubungan baik antara satu sama lain (benang lurus) untuk menghilangkan konflik-konflik yang terjadi (benang kusut) dalam suatu konflik. Berikut ini adalah langkah-langkah yang akan dilakukan untuk menghilangkan konflik akibak kenaikan pajak reklame yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Surabaya:
1. Pemerintah akan mendekati para pengusaha pengguna jasa reklame. Pengertian yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. Pemkot akan melakukan mediasi masalah tingkat keselematan masyarakat yang kurang akibat rawannya reklame besar yang banyak roboh pada musim penghujan.
b. Kemudian Pemkot mensosialisasikan langkah selanjutnya kepada para pengusaha perihal kenaikan pajak yang akan dilakukan. Tetapi, kenaikan pajak ini tidak terlalu besar tetapi masih dapat memberikan peningkatan PAD yang cukup signifikan. Hal ini dilakukan dengan memberikan peningkatan pajak dengan penambahan kriteria kebeberapa reklame. Sehingga, pajak yang besar tersebut diperkecil dengan melakukan penambahan titik reklame yang mengalami kenaikan pajak.
c. Kenaikan pajak yang dilakukan diiringi dengan komitmen pemerintah untuk mengentaskan pungli secara menyeluruh dan memperbaiki management kelembagaan secara komperhensif.
d. Perbaikan internal kelembagaan dilakukan dengan proses perizinan yang memang sesuai dengan standart yang telah ditetapkan. Perbaikan ini diharapkan akan mengentaskan permasalahan konstruksi reklame yang tidak sesuai dengan aturan untuk dapat memberikan peningkatan keselamatan masyarakat terhadap ancaman robohnya reklame.
2. Kemudian, para pengusaha secara otomatis tidak akan mengurangi permintaan untuk mendirikan reklame dengan bantuan jasa dari biro reklame. Dari sini,pihak biro reklame tidak akan merasa dirugikan Karena adanya kenaikan pajak reklame yang baru.

3. Dengan begitu, DPRD yang sebelumnya memperjuangkan hak dari para biro reklamepun juga mulai mendukung kebijakan Pemkot atas kenaikan pajak reklame.

Sehingga, mulai terbentuklah suatu situasi yang seimbang, peningkatan PAD tetap berjalan, tingkat keselamatan masyarakat menjadi lebih tinggi, para pengusaha pengguna jasa reklame tetap melakukan transaksinya di pasar reklame Surabaya, permintaan reklame masih tetap ada sehingga tidak mematikan usaha biro reklame, DPRD pun mulai mendukung adanya kebijakan tersebut.

Pajak Reklame Untuk Menigkatkan PAD Surabaya

Awal September lalu, Surabaya digemparkan akibat munculnya Perwali nomor 56 dan 57 yang menyatakan bahwa akan terjadi kenaikan pajak reklame berukuran besar di 167 titik dari total keseluruhan 16.012. Pemkot berdalih, kenaokan pajak ini dilakukan untuk meningkatkan PAD, mengurangi resiko robohnya reklame besar dan untuk memperbaiki estetika kota yang telah dipenuhi oleh reklame. Kenaikan pajak reklame diiringi dengan komitmen Pemkot untuk memberantas banyaknya pungli yang terjadi setiap melakukan perijinan pendirian reklame. Selain itu, Pemkot juga menurunkan pajak reklame sedang dan kecil sebesar 30%. Hal ini dilakukan untuk menarik minat para pelaku UKM untuk tidak segan memasarkan produknya lewat reklame.

Selanjutnya, pada tanggal 28 Desember 2010 Perwali nomor 56 dan 57 direvisi menjadi Perwali nomor 70 dan 71. Menurut Kabid Pendapatan Pajak Dinas Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Pemkot Joestamadji yang mengungkapkan bahwa terdapat beberapa aturan yang berubah terkait dengan kenaikan pajak reklame, diantaranya adalah pengklasifikasian ukuran reklame yang semula hanya tujuh kini menjadi 12 jenis dan kenaikan pajak reklame rata-rata hanya sebesar 3%, dimana untuk reklame yang berukuran besar (± 50 m²) mengalami kenaikan pajak hingga mencapai 200% dan untuk reklame yang berukuran kecil, sedang, atau menengah mengalami penurunan pajak yang sama yaitu sebesar 30%. Nilai ini sangat merosot jauh apabila dibandingkan dengan perwali nomor 56 dan 57 yang kenaikan pajaknya rata-rata sebesar 38%. Perivisian Perwali ini dilakukan karena banyak pihak yang merasa tidak setuju dengan Perwali sebelumnya.pada tanggal 8 Desember 2010, DPRD Kota Surabaya melakukan hak interpelasi kepada Wali Kota Surabaya perihal kenaikan pajak reklame yang dapat menembus angka 400%. Konflik terus berlanjut dengan dilakukannnya hak angket oleh DPRD Kota Surabaya yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 2011 dengan mendatangkan tiga pejabat yang terkait dalam penyusunan Perwali 56 dan 57.

Jika ditelaah kembali, pajak reklame selama beberapa tahun terakhir hanya menyumbang 1% dari keseluruhan jumlah PAD yang diterima Surabaya. Jika kenaikan pajak yang dilakukan rata-rata hanya sebesar 3% maka, kenaikan PAD yang dijadikan dalih tidak akan terlaksana. Selain karekan kenaikan pajak reklame yang cukup kecil ditambah lagi penurunan pajak reklame berukuran sedang dan kecil sebesar 30%. Satu sisi terjadi kenaikan, tetapi disisi lain terjadi penurunan pajak yang nantinya malah akan menurunkan keseluruhan pendapatan pajak reklame.

Peningkatan PAD dapat dilakukan dengan meningkatkan pajak reklame mendakati peraturan perundang-undangan nomor 28 tahun 2008 yang menyebutkan bahwa kenaikan pajak reklame tidak diperkenankan melebihi 25%. Alternative yang disuguhkan untuk memaksimalkan pendapatan PAD adalah dengan melakukan kenaikan pajak rata-rata mendekati 25%. Kemudian, kenaikan pajak ini diiringi dengan penambahan titik-titik baru yang nantinya akan mengalami kenaikan pajak. Selain itu, pengklasifikasian yang lebih beragam terhadap reklame yang mengalami kenaikan pajak perlu dilakukan.

Hal ini dilakukan untuk mendapatkan jumlah keseluruhan pajak reklame yang lebih besar dengan menambah jumlah obyek pajak, sehingga kenaikan pajak yang besar tidak akan terasa berat karena ditanggung oleh banyak pihak. Selain itu, penurunan pajak sebesar 30% akan diturunkan menjadi 15%. Hal ini dilakukan karena jumlah pengusaha reklame besar yang relatif kecil, yaitu hanya sebesar 9%, sedangkan 91% adalah pengusaha reklame kecil, sedang, atau menengah. Penurunan pajak sebesar 15% akan dapat meminimalisir pengurangan nilai jumlah pajak yang akan terserap dalam sector. Penurunan ini juga akan tetap menarik minat para pengusaha reklame besar dan kecil yang nantinya dapat menambah jumlah obyek pajak pada reklame sedang dan kecil. Dengan begini, pajak reklame akan dapat menyumbang PAD lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya.